- Blog ini dibuat untuk media sliaturahmi.
- Untuk guru yang suka kepada muridnya
- Untuk dosen yang hanya melihat kemampuan
mahasiswanya hanya dari absensi kehadiran.
- Kepada mahasiswa dihantui kata "PRODUK GAGAL"
PMII dan Pesantren
Tema yang akan didiskusikan adalah dua hal yang sama-sama memiliki suatu bentuk karakteristik yang perlu dicari benang merahnya. Pesantren dan PMII dua Institusi berbeda, setidak – tidaknya menyangkut ; pertama, proses berdirinya pesantren pada umumnya dan proses berdirinya PMII. Kedua, pesantren lebih memiliki karakter sebagai lembaga pendidikan agama, sedangkan PMII memiliki karakter gerakan. Ketiga, setiap pesantren memiliki karakter yang berbeda dan potensi kelembagaan yang vareatif. Sementara PMII adalah suatu institusi yang memiliki induk secara Nasional, sehingga dari pusat sampai ke daerah terpadu dalam satu bingkai pemahaman dan gerakan. Danmasih ada beberapa perbedaan yang tidak tersebutkan dalam paparan tulisan ini.
Terlepas dari perbedaan tersebut, bukan berarti keduanya tidak memiliki mata rantai hubungan, bahkankedua institusi ini sebenarnya mempunyai hubungan yang cukup erat dan signifikan terutama pada landasan minhajul fikr (Aswaja) nya dan latar belakang kelembagaannya. Oleh karena itu penting untuk kita mengkaji benang merah yang cukup tebal itu padakedua sosok lembaga ini. Terutama bagi mereka yang kurang memahami seluk beluk pesantren, dan mereka yang baru masuk sebagai kader PMII.
Menelusuri sejarah kehadiran PMII sebagai organisasi gerakan mahasiswa Islam yang merupakan kristalisasi pergulatan pemikiran Mahasiswa latar belakang sosio kulturalnya dari kalangan Nahdiyin bahkannotabenesebagian mereka berasal dari kalangan pesantren atau mereka yang memiliki kedekatan kultur dengan pesantren. Tentu dengan demikian Pesantren dan PMII mempunyai hubungan sejarah yang cukup kental. Bahkan sampai sekarang sebagian besar orang pesantren memiliki hubungan emosional dengan PMII, dan mahasiswa dari pesantren kecenderungannya memilih PMII sebagai tempat untuk menempa diri.
Ada beberapa dampak positifdari aspek sejarah tersebut, diantaranya adalah secara psikologis mahasiswa pesantren tidak akan merasa kehilangan jati diri sebagai santri. Karena di PMII ia akan dapat beraktualisasi dengan oraganisasi yang sinergis akar budayanya dengan pesantren. Sinergisitas itu dapat digali dari kesamaan pandangan (Aswaja) dalam merespon perubahan di segala aspek, baik sosial budaya, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Sekalipun tidak bisa dipungkiri mesti ada perbedaan khususnya dalam rumusanaksi. Keterlibatan santri di organisasi adatanggung jawab moral untuk mewarnai terhadap pola pemikiran dan gerakan dalam melihat, mencermati dan merespon perubahan dari sudut pandang agama. Interaksi langsung atau tidak langsung seperti ini akan terjadi hubungan saling memberi dalam organisasi PMII.
Aswaja bagi kalangan Pesantren dan PMII sudah menjadi metodologi pemikiran. Sifat pemikiran Aswaja yang moderat lebih bisa diterima dari semua elemen bangsa, organisasi, golongan bahkan agama sekalipun. Keterbukaan merespon perubahan dan kehati-hatian menjadi nilai plus umat Islam di Indonesia. Sehingga sikap fleksibel yang ditampilkan akan memberikan kemudahan dalam melakukan perubahan di berbagai bidang kehidupan. Semua ini tidak terlepas dari landasan pola pikirgolongan atau oraganisasi, yang tentu pola fikir tersebut mempengaruhi terhadap prilaku golongan atau organisasi tersebut. Dan dari sudut pandang ini pesantren dan PMII hampir tidak ada perbedaan yang prinsip.
Dari kaca matasosiologi, mahasiswa tingkat stratifikasi sosialnyatermasuk dalam kategori kelas menengah berdasarkan tingkat pendidikannya. Padakonteks ini potensi dan peluangmahasiswa sangat besarkarenaposisinya bisa berperan ke bawah (masyarakat) rentan dan dapat menjangkauterhadap kelas di atasnya (terutama politik) dalam mengawal dan mengkritisi kebijakan untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat.Kondisi serupatidak jauh berbeda dengan pesantren yang begitu dekat hubungannyadengan masyarakat. Indikator kedekatan itu adalah kuatnya partisipasi masyarakat terhadap pesantren, begitu juga sebaliknya.Sehingga pesantren dan PMII ada pada posisi strategis sebagai agen perubahan. Peran strategis dansinegis antara pesantren dan PMII adalah kekuatan besar sebagai mediator, trasformator dan inovator perubahan sesuai dengan harapan yang dicita-citakan.
Hubungan keduanya tidak mungkin bisa ada pada posisi dan melakukan peran yang sama dalam kerangka strategisnya. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana keduanya bisa membagi peranmembangun kekuatan, bersama elemen penting lainnya yang bisa bersinergis untuk kemaslahatan umat.
Tetapi demikian ada kelemahan sekaligus menjadi kekuatan pesantren yang patut dicermati untuk membangun hubungan sinergis keduanya, yaitu :
1.Pesantren di Indonesia sangat variatif, bahkan sekarang menjamur pesantren-pesantren yang didirikan bukan dari kalanganpesantren dengan model baru yang berbeda dengan pesantren pada umumnya.
2.Keragaman pesantren tidak semua dapat terjangkau oleh organisasi di luarnya dalam membangun hubungan sinergis karena keterbatasan potensi yang dimiliki. Potensi kelembagaan pesantren dapat dibagi tiga, pertama, pesantren yang baru tumbuh. Yang kedua, pesantren berdaya, dan ketiga, pesantren mandiri.
3.Setiap pesantren memiliki keunikan sendiri, dan ini tergantung pada Kiyai sebagai pimpinannya. Tidak jarang keunikan tersebut dijadikan daya tawar dengan dunia di luar pesantren untuk kepentingan politik.
4.Harus kita akui bahwa pergulatan pemikiran dikalangan mahasiswa seringkali membuat kalangan Kiyai di beberapa pesantren kurang merespon positif.
Berdasarkan pendekatan tersebut diatas, tentu masih banyak yang perlu kita rumuskan untuk membangun kekuatan bersama secara kontinu.
Cinta yang sengaja dipendam..............
adalah cara tercepat untuk patah hati
Macam - Macam Konflik
Sabtu, 21 Juni 2008
Fenomena konflik sosial • Konflik adalah fenomena sosial, selalu ada dalam setiap kehidupan (masyarakat bersahaja, agraris maupun industrial), tetapi bisa dikelola sehingga tidak menghancurkan sistim keseluruhan. • Empat pokok bahasan: struktur konflik, proses konflik, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konflik dan konteks konflik. • Konflik bisa terjadi di dalam kehidupan masyarakat sipil, tetapi juga bisa: (1) antara masyarakat sipil dengan mereka yang di sektor publik dan sektor swasta, (2) antara mereka yang di sektor sukarela dengan mereka yang di sektor publik dan sektor swasta, (3) antara mereka yang di sektor publik dan mereka di sektor swasta. • Karena kehidupan sosial adalah satu kesatuan yang saling berkaitan, maka setiap konflik sosial akan memiliki dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat sipil. Struktur konflik • Struktur konflik terkait dengan tiga macam sumber konflik:ideology (keyakinan terhadap paham/isme tertentu), interest (kepentingan, terutama ekonomi), understanding (pengertian atau pemahaman). • Masing-masing sumber konflik bisa menjadi bagian pembahasan tersendiri (terpisah), masing-masing dapat dianalisis berdasarkan: (1) size (luas) konflik, dan (2) intensity (kedalaman) konflik. • Size (luas) konflik: masalah kuantitas, jumlah orang/pihak yang terlibat konflik, jumlah wilayah/daerah yang menjadi ajang konflik, semakin luas semakin sulit diredakan atau dicarikan alternatif solusi. • Intensity (kedalaman) konflik: masalah kualitas, persoalannya rumit terkait dengan banyak faktor, durasi waktunya panjang, semakin dalam semakin sulit diredakan atau dicarikan alternatif solusi. • Sering terjadi korelasi positif antara size konflik dan intensity konflik. Konflik ideologi • Dalam ideologi terdapat keyakinan (kebenaran, kesejahteraan lahir- batin, terkait hubungan sesama manusia dan manusia dengan Tuhan), simbol (tanda bermakna) dan ritual (fungsi sosialisasi). • Sumber ideologi: kreasi pikir (etika, paradigma), agama (wahyu dari Tuhan). Kreasi pikir dibingkai rasionalisasi (penalaran), sedangkan agama diterima sebagai doktrin dan pandangan atau jalan hidup. • Ideologi sebagai kreasi pikir berakar dari situasi sosial atau peradaban tertentu (komunisme lahir sebagai alternatif kapitalisme), ada image of the subject matter tertentu, dilengkapi dengan strategi untuk mencapainya. • Konflik akibat perbedaan ideologi bisa lebih kompleks, lebih luas dan lebih dalam (intensity) dibandingkan dengan orientasi kandungan ideologi (basis ideologi sama tetapi pemahaman dan perwujudan dalam sikap dan perilaku berbeda). Konflik kepentingan (interest) • Konflik kepentingan adalah cerminan dari kompetisi antara individu atau kelompok tertentu untuk mendapatkan sumber yang bersifat tangible (nyata, dapat dilihat dan diidentifikasi) serta memperoleh rewards (keuntungan). • Arah konflik kepentingan: zero-sum outcomes (memperoleh atau kehilangan seluruhnya, tidak ada kompromi) atau positive-sum outcomes (terbagi sama, kepentingan diusahakan diakomodasi meskipun tidak harus persis sama). • Dalam konflik kepentingan kerap terjadi manipulasi situasi/kondisi (menonjolkan hak sendiri, mengabaikan hak pihak lain), keragaman penafsiran terhadap sumber konflik (agar rewards lebih besar). • Semakin besar potensi perbedaan hasil yang diperoleh, konflik semakin luas atau kompetitif dan semakin dalam, karena itu semakin sulit dicarikan alternatif solusi. Konflik understanding • Konflik understanding adalah cerminan tidak ada saling pengertian atau pemahaman dalam mencapai tujuan bersama (collective goals), rumusan tujuan ditafsirkan menurut persepsi yang berbeda, diyakini paling efektif, efisien, paling memelihara equity dan pemberdayaan. • Tekanan konflik understanding tidak terletak pada who should get more, tetapi lebih pada how both can get more, karena itu proses mencapai sangat penting; proses sama pentingnya dengan tujuan. • Upaya mencari solusi konflik ini: menekan pada thinking intuitively rather than analytically (membangun perasaan saling memahami), adopting a problem solving approach rather than a competitive (menekankan ada masalah yang harus dijawab), memperbanyak kontak dan komunikasi.
Proses konflik Ada dua macam proses konflik: bargaining dan debating. Bargaining menekankan pada upaya menyepakati pelbagai bentuk konsensi (siapa dapat apa dan berapa), dan debating menekankan pada diskusi dan persuasi dalam negosiasi (adu argumen). Bargaining dan debating memerlukan simbol komunikatif yang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat konflik, ada persamaan konsep dan persepsi Durasi waktu bargaining dan debating bisa pendek bisa pula panjang tergantung pada seberapa kompleks persoalan yang menjadi akar konflik, semakin kompleks semakin panjang. Bargaining dan debating bisa dilakukan oleh semua pihak yang terlibat konflik, bisa pula melalui perwakilan (hanya dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci). Bargaining • Perolehan konsensi ditentukan oleh pilihan strategi, bentuk tekanan, alternatif tawaran dan kejelasan keuntungan yang diperoleh. • Di dalam prosesnya terdapat: ekspektasi (harapan pihak-pihak yang terlibat konflik), evaluasi (layak apa tidak) dan penilaian (seberapa besar keuntungan yang kelak diperoleh). Perubahan ekspektasi berpengaruh terhadap evaluasi dan penilaian. • Alternatif bargaining bisa cooperative (menuju kerjasama, saling pengertian, damai) atau competitive (menunjukkan kekuatan masing-masing meskipun tetap mengakui kekalahan, fairness, demokratis). • Arah dan perubahan bargaining bisa dipengaruhi oleh kemampuan dan ketahuan individual pihak-pihak yang terlibat konflik, kepemimpinan yang dimiliki dan struktur kekuasaan masyarakat tempat afiliasinya. Debating • Fokus analisis debating adalah pada kemauan saling memberi dan saling menerima seperti yang lazim terjadi pada kelompok kecil. Masing-masing pihak yang terlibat konflik memposisikan diri harus memperoleh sesuatu melalui tawaran alternatif. • Debating membutuhkan saling pengertian, meskipun tidak menjamin perolehan hasil, tanpa saling pengertian tidak terbangun persamaan konsep dan persepsi dan debating bisa terhenti. • Peningkatan pengertian bisa memberi kesempatan luas untuk membangun persetujuan dan menemukan alternatif solusi konflik. Alternatif solusi bisa dirumuskan dan disepakati bersama. • Keberhasilan debating tergantung teknik yang dipergunakan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik, serta kemauan membangun kompromi di antara mereka. Mereka juga harus punya komitmen. Faktor-faktor mempengaruhi konflik sosial • Faktor-faktor yang mempengaruhi luas (size) dan kedalaman (intensity) konflik: orang yang terlibat (person variables), konteks konflik (terkait dengan role obligations) dan lingkungan yang melingkupi (situasi dan kondisi sosial ketika terjadi konflik). • Person variables: sifat atau karakteristik orang yang terlibat konflik, persepsi, sikap dan perilaku mereka (terutama terkait dengan pilihan strategi), tingkat pendidikan, status sosial ekonomi. • Role obligations: apa yang mau diperjuangkan atau diraih (tujuan), kelompok atau organisasi apa yang diwakili (representasi), dan • Lingkungan: kesempatan membangun kontak dan komunikasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik (krisis apa tidak), serta ketepatan waktu memperjuangkan atau meraih tujuan
Sebuah kata berbahasa Arab, Bersayapkan harkat, telah mengajarkan apa yang keluar dari bibir hanya akan bisa sampai telinga. Tetapi, apa yang muncul tulus dari dalam hati pasti akan sanggup mencapai hati orang lain.
Untuk Mahasiswa
Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan
Di persimpangan jalan
Kepada pewaris peradaban
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
Di lembar sejarah manusia
Wahai kalian yang rindu kemenangan...!
Wahai kalian yang turun ke jalan...!
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta.